Kamis, 19 September 2013

Syahadat, Makna dan Konsekuensinya

oleh ; K.H Abdurrahman Nafis, Lc

Pintu masuk seorang yang ingin memeluk agama Islam adalah dengan bersyahadat. Hal ini sesuai sabda Rasulullah SAW : Islam dibangun lima pilar, Syahadat, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan haji ke Baitullah. Asyahadu (aku bersaksi). Yang maknanya i’laan (publikasi), Alwa’d (janji), al Iqraar (ikrar), al Qasam (sumpah). Di mana orang yang bersaksi tidak harus melihat obyek apa yang dia ucapkan. Beda dengan usyaahidu yang maknanya menyaksikan, kata ini membutuhkan obyek yang harus dilihat. (QS Ali Imran :18)

An laa ilaaha (bahwa tidak ada Tuhan). Meniadakan semua bentuk tuhan. Tuhan (ilah) adalah semua yang diagungkan, yang ditaati, yang dilebihi dari yang seharusnya. Sehingga, maknanya adalah tiada yang menciptakan, tiada yang memberi rizki, tiada yang menghidupkan dan mematikan, tiada yang dijadikan hakim. Illallah (kecuali Allah). Tiada yang dipertuhankan selain Allah, tidak ada yang kita sembah, selain Allah, tiada yang kita taati selain Allah, tiada yang kita lebihkan kecuali Allah. Inilah yang disebut tauhid uluhiyah. Maka, orang yang sudah mengucapkan syahadat ini, jangan sampai mempertuhankan uang, mempertuhankan jabatan, mempertuhankan pemimpin, karena akan menodai syahadat itu sendiri.

Wa asyhadu anna muhammadan rasulullah (dan aku bersaksi, bahwa Muhammad adalah utusan Allah). Artinya berjanji, bertekat, meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah. Tidak ada nabi lagi setelahnya.

Jika seseorang sudah mengucapkan syahadat tersebut, maka dia sudah disebut sebagai seorang muslim, asal memenuhi tiga syarat : iqraarun bil lisaan, wa’tiqaadun bil janaan, wa ‘amalun bil arkaan (diikrarkan dengan lisan, diyakini dengan hati, dan diamalkan dengan anggota badan). Itulah pintu masuk sebagai seorang muslim. Pintu yang paling pokok ketika akan memasuki rumah besar yang bernama Islam. Namun, setelah itu harus dilanjutkan dengan rukun Islam yang lainya yakni shalat, zakat, puasa dan haji. Sehingga diharapkan bisa menjadi mukmin bahkan muhsin. Adapun sikap seorang muslim terhadap orang yang sudah bersyahadat adalah lahuu maa lana wa’alaihi maa ‘alaina (dia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan kita). Kita harus menghormati seperti saudara kita. Bila bertemu mengucapkan salam, jika dia meminta nasehat, berilah nasehat itu, jika dia sakit, maka jenguklah, bila dia meninggal dunia, berta’ziyah. Jangan sampai mengkafirkan sesama muslim. Bahkan jika dia belum melakukan kewajiban sebagai seorang muslim pun, kita tidak boleh mengganggunya.

Dikisahkan, pada saat berkecamuknya peperangan, antara pasukan muslim dengan pasukan kafir yang memusuhi Islam. Pada saat pasukan kafir terdesak, ada seorang di antara mereka yang sepontan mengucapkan “syahadat”. Anggapan pasukan Islam, dia mengucapkan syahadat itu hanya tipu muslihat saja, agar dibebaskan, dan bisa menyelamatkan diri, sehingga dia langsung dibunuh. Setelah kejadian ini diceritakan oleh Rasulullah SAW, beliau menegur sahabat yang membunuh musuh yang telah bersyahadat tersebut dengan bersabda : “ataqtulu musliman?” (apakah kau membunuh seorang muslim?).”Ya Rasulullah, dia musuh kita, dia kafir, dan dia lakukan itu hanya tipu muslihat saja”, dalih sahabat tersebut. Rasulullah mengulangi lagi sabdanya hingga tiga kali : “ataqtulu musliman?” (apakah kau membunuh seorang muslim?). Begitulah, seseorang walaupun belum melakukan kewajiban sebagai seorang muslim, tetapi sudah mengucapkan dua kalimah syahadat, maka dia sebagai muslim yang hak-haknya sama dengan yang sudah dulu mengucapkannya.

Memang, orang yang setelah mengucapkan dua kalimah syahadat ada beberapa tuntutan, yakni mengerjakan shalat. Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang mendirikan shalat, berarti telah menegakkan agama, dan siapa yang meninggalkan shalat, maka dia telah merobohkan agama. Bahkan ada hadits nabi yang menyatakan : Janji aku dengan kamu adalah shalat, orang yang meninggalkan shalat berarti dia telah kafir. Kata “kafir” inilah yang kemudian para ulama’ berbeda pendapat. Menurut Imam bin Hambal menyatakan bahwa orang yang sudah bersyahadat kemudian tidak mengerjakan shalat, maka dia dianggap telah kafir, dan jika meninggal dunia, tidak dirawat secara muslim. Menurun Imam Syafi’i dan jumhur ulama’ membagi kafir itu menjadi dua. Kufrun nikmah (kafir terhadap nikmat Allah) dan kufrul millah (kufur terhadap agama). Islam merupakan nikmat Allah yang diberikan kepada seorang, sehingga jika dia tidak melakukan shalat maka dia termasuk kufrun nikmah, karena tidak mensyukuri nikmat Allah berupa Islam itu. Sehingga, orang yang kufur nikmah dia tetap muslim, tetapi, orang tersebut akan disiksa dengan siksaan yang amat pedih. ( QS Ibrahim : 7). Kafir millah (kufur agama), adalah seseorang yang ingkar terhadap kewajiban Islam. Meyakini shalat tidak wajib, orang Islam cukup syahadat saja, dlsb. orang yagn seperti ini yang sudah tidak dianggap sebagai seorang muslim, dan jika meninggal, tidak dirawat sebagaimana muslim lainnya. Ini yang menurut Imam Syafi’i kafir yang sebagaimana dinyatakan dalam hadits tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar